Mengenal Komunikasi Profetik

 



Nama : Gustafian Aji Suci

Nim    : 18107030087

Mata kuliah : Komunikasi Profetik B

Dosen Pengampu : Achmad Zuhri, M.I.Kom



A.    Munculnya Komunikasi Profetik


Dari konteksnya berawal dari adanya perubahan IAIN ke UIN. Ketika ada perubahan dari IAIN ke uin terdapat transformasi perubahan itu yang dimana UIN menjadi kampus yang memiliki paradigma keilmuan baru yaitu integrasi interkoneksi yang mencoba melepas dikotomi antara ilmu-ilmu sains, ilmu agama, ilmu social.  Itu jadi tidak ada lagi dikotomi keilmuan, maka dari itu ijtihad akademik prodi ilmu komunikasi melahirkan sebuah mata kuliah baru Namanya komunikasi profetik. Konteks kedua perkembangan dunia informastika dan digital, secara konteks yang ketiga ada bauran kebudayaan dan agama di mana kita memasuka zaman di mana kebudayaan menjadi aktifitas agama dan begitupun sebaliknya terkadang masyarakat susah memilah yang mana budaya, dan mana yang Namanya agama. Secara sederhana dari konteks komunikasi profektif ialah dapat diartikan sebuah pendekatan, sebuah gagasan tentang keilmuan komunikasi yang membawa nilai-nilai kenabia, nilau-nilai kerasulan, apa nilai-nilai yang dibawa disitu yaitu ada humanisme yaitu memanusiakan manusia, liberasi yang membebaskan manusia dari belenggu yaitu belenggu dari kebodohan, kekuasaan, dari kedzholiman dan seterusnya, kemudian ada  transendensi yang mengarah atau komunikasi profektif itu memiliki misi membawa nilai kenabian yang mengarah manusia kepada nilai-nilai ketuhanan, jadi membawa manusia paling tidak bertemu dengan tuhan. Kemudian apa yang melatar belakangi mata kuliah ini hadir selain konteks secara teks, yang pertama lahirnya UU ITE, munculmya media baru sekarang sudah ada zoom, google meet, classroom, telegram, Instagram, twitter, youtube, Netflix dll. Selain itu yang melatar belakangi adanya berbagai kesalah pahaman, ada 4 :

1.      Kesalah pahaman antara barat dengan dunia islam

2.      Kesalah pahaman antara antara islam dengan dunia barat

3.      Salah paham antara dunia barat dengan dunia barat

4.      Salah paham antara islam atas islam itu sendiri


B.     Mempertemukan Agama dan Ilmu Pengetahuan.


Komunikasi dapat dipahami sebagai ragam pendekatan atau prespektif, keragaman pendekatan atau presfektif terhadap komunikasi tersebut muncul karena ada dua hal yang pertama beragamnya orang memahami pengertian komunikasi, yang kedua karena kontribusi ilmu lain dalam mengambangkan komunikasi sebagai sebuah ilmu, banyak dari kita memahami bahwa komunikasi itu adalah di dalam pengertian praktis yang dirasakan sehari-hari dengan pengertian sebagai berbicara, ngobrol, berdiskusi, dll. Sederhananya  dipahami seperti itu atau mengisyaratkan penyampaian pesan antara si A dan si B ataupun seterusnya, pengertian yang sangat lazim yaitu dapat kita temukan juga bahwa komunikasi dapat dimaknai sebagai sebuah tindak prilaku dalam bentuk tuturkata dalam menyampaikan pesan atau informasi antar manusia (human communication). Dalam pengertian ini dapat kita katakana bahwa usia komunikasi itu sebagai praktek penyampaian informasi sejak pertama kali terciptanya manusia. Dalam pengertian yang lazin komunikasi akan menghantarkan kita pada studi budaya dan antropologi, karena Bahasa tutur kata yang digunakan sarana komunikasi masuk dalam kajian budaya dan antropologi social.

Komunikasi profetik hadir untuk mencari titik temu antara hubungan agama dan ilmu pengetahuan. Komunikasi Profetik berusaha untuk memberikan kontribusi akademik dan mengembangkan ilmu komunikasi kedepannya. Paradigma ilmu sosial profetik menempatkan nalar, akal, rasio dan pengalaman empiris sebagai alat untuk menafsirkan wahyu Tuhan atas realitas yang ada. Sehingga ilmu sosial profetik akan menghadapkan Al-Quran pada realitas sosial. Begitupun wahyu akan ditempatkan sebagai suber bagi terbentuknya konstruksi social.


C.    Awal Gagasan Ilmu Sosial Profetik.


Ilmu Sosial Profetik lahir dari kegelisahan Kuntowijoyo atas pertanyaan ‘apa sesungguhnya yang menjadi dasar ilmu pengetahuan’.  Aristoteles berpendapat bahwa ilmu pengetahuan berasal dari pengalaman atau empirisme. Sementara Plato beranggapan sumber ilmu pengetahuan berasal dari akal atau rasionalisme. Perbedaan pandangan tersebut menimbulkan perdebatan panjang yang tak kunjung selesai.

Di tengah perdebatan yang tak kunjung selesai antara dua kubu keilmuan tersebut, muncullah paradigma baru melalui pendekatan konstruktivisme. Konstruktivisme memercayai bahwa orang menciptakan ilmu pengetahuan agar manusia dapat berjalan secara pragmatis di dunia. Melalui pendekatan ini, sebuah fenomena dapat dilihat dengan cara yang berbeda.

Selanjutnya, Kuntowijoyo mencoba memberikan perspektif lain dengan menghadirkan konsep wahyu di antara rasionalisme dan empirisme. Menurutnya, wahyu dapat dijadikan sebagai salah satu sumber ilmu pengetahuan. Wahyu dapat menjadi penyeimbang antara kedua pandangan tersebut.

Selain itu, Ilmu Sosial Profetik juga hadir atas kegelisahan mengenai kedudukan teologi dalam agama-agama. Kegelisahan ini muncul karena ilmuwan musil masih memperdebatkan kedudukan teologi dan terpecah menjadi dua kubu yang berseberangan. Salah satu kubu menganggap teologi sebagai ilmu kalam atau ilmu tauhid yang dalam tradisi Islam konvensional memelajari Tuhan secara normatif. Sedangkan kubu yang lain menganggap teolog sebagai produk keilmuan transformatif yang memahami teologi sebagai refleksi tafsir atas realitas.

Atas perbedaan yang sulit diurai tersebut, Kuntowijoyo kemudian menawarkan istilah teologi yang memiliki daya transformatif. Hal itu selanjutnya berkembang menjadi Ilmu Sosial Transformatif yang menjadi cikal bakal lahirnya Ilmu Sosial Profetik. Secara sederhana, gagasan teologi transformatif ini ‘mengajak Tuhan’ untuk bersama-sama mengembangkan ilmu pengetahuan yang transformatif.

Ilmu Sosial Profetik hadir untuk menempatkan nalar, akal, rasio, dan pengalaman empiris sebagai alat untuk menafsirkan wahyu Tuhan atas realitas yang ada. Sebaliknya, dalam Ilmu Sosial Profetik, wahyu Tuhan ditempatkan sebagai sumber bagi terbentuknya konstruksi sosial.


D.    Pondasi Ilmu Sosial Profetik.


Kata profetik berasal dari bahasa Inggris, prophetic yang artinya kenabian. Secara etimologi profetik adalah sesuatu yang mengandung atau memiliki ciri seperti nabi atau bersifat kenabian, memiliki prediktif atau memprakirakan. Kata profetik dalam ilmu sosial profetik menurut Kuntowijoyo adalah mengacu pada peristiwa Isra Mi'raj. Peran kenabian dari nabi kita Muhammad SAW tidak tergoda oleh manisnya perjumpaan dengan sang Kholik Allah SWT saat Isra Mi'raj ini dibuktikan dengan kembalinya beliau ke tengah-tengah komunitas manusia untuk menemukan kebenaran dan transformasi transenden.  Singkatnya, ilmu profetik adalah ilmu yang mencoba meniru tanggung jawab sosial para nabi.

Kuntowijoyo menggunakan surat Ali-Imran ayat 110 sebagai sumber yang dapat mengoperasionalkan gagasannya tentang Ilmu Sosial Profetik. Surat Ali-Imran ayat 110 memiliki makna sebagai berikut, “Kamu (Ummat manusia) adalah ummat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah”. Penggunaan ayat ini menunjukan dua hal sekaligus, yang pertama penegasan wahyu dapat dijadikan sebagai sumber bagi pengembangan ilmu pengetahuan, bukan hanya ilmu filsafat,  ilmu yang berasal dari pemikiran rasional/akal, atau ilmu empirisme yang diperdebatkan oleh Plato dan Aristoteles. Yang kedua selain empirisme dan rasionalisme yang diakui sebagai sumber ilmu pengetahuan, wahyu juga dapat digunakan sebagai sumber ilmu pengetahuan.

Terhadap wahyu yang termuat dalam surat Ali-Imran ayat 110 tersebut, Kuntowijoyo menilai terdapat sejumlah tema atau termafilosofis yaitu yang pertama masyarakat utama (Khairu Ummah), yang kedua terdapat kesadaran sejarah (ukhrijat linnas), kemudian ada liberasi (amar ma’ruf), kemudian ada emansipasi memanusiakan manusia (nahi mungkar), dan transedensi (al imam billah) yaitu mengajak bertakwa kepada Allah SWT. Ummat islam sebagai (Khairu ummah) ingin diletakkan Kuntowijoyo sebagai dasar bagi terbangunnya optimism intelektual dan ilmu pengetahuan dikalangan ilmuan islam. Ummat islam adalah sebaik-baiknya ummat manusia yang akan mengkonsolidasikan kembali semangat, kekuatan, kehebatan, kemampuan, dan kejayaan ilmu pengetahuan islam yang berkembang pesat pada masa lalu serta menjadi jembatan emas bagi kemajuan peradaban ilmu pengetahuan di Barat. Hal ini juga menegaskan bahwa ummat islam telah ditakdirkan menjadi ummat terpilih yang dimunculkan dari sejarah kemanusiaan.


E.      Nilai Komunikasi Profetik pada QS. Ali Imran:110

Pondasi Ilmu Sosial Profetik berasal dari QS. Ali-Imron ayat 110. Ayat tersebut berbunyi:


كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ

Artinya: “Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik.”

Ayat itu mengandung tema filosofis tentang masyarakat utama, kesadaran sejarah, liberasi atau amar makruf yang memiliki gambaran makna membebaskan manusia dari belenggu, emansipasi atau nahi mungkar, dan transendensi atau beriman kepada Allah. Keseluruhan itu termasuk ke dalam misi-misi profetik yang telah disebutkan di atas, humanisasi, liberasi, dan transendensi.